PKL:
Terjepit antara Uang dan Ruang
Percaya gak? Kalau karier presiden kita joko widodo dimulai dari Pedagang kaki lima? keberhasilannya mengatur PKL disolo membuat dia menjadi melambung tinggi sampai menjadi wali kota solo loh, waktu itu juga menjadi 10 tokoh nasional majalah tempo tahun 2008 terus menjadi wali kota terbaik se-indonesia pada tahun 2011. sejak itu jokowi lebih dari yang terbaik senasional tapi jadi internasional! dengan pendekatan 'diplomasi meja makan' sebagai jurus andalannya PKL di taman bajarsari menjadi jauh lebih rapi dan teratur tanpa pakai baku hantam dengan warga.
secara
kebetulan mendadak “balik” ke habitat lama: PKL. sejak seminggu terkahir ini nih konsekuensi dari kisah perjalan seorang Aparat sipil negara. Disaat lagi asyik julid dengan warga “ruang”dengan penintasan RTRW , Nusa
Tenggara Barat, akhirnya bergeser mengurusi “uang” (baca: ekonomi) para pelaku
sektor informal. Bagi penulis, ini seperti kembali ke habitat (rumah) kedua,
sekaligus ini melanjutkan iktiar dan perjuangan sekitar 15 tahun silam. Di kala
itu, penulis meneliti karakteristik PKL di Kawasan Pusat perdagangan
Cakranegara, Kota Mataram sebagai tesis sebagai syarat untuk menyelesaikan pasca
sarjana di bidang Manajemen Perkotaan.
Dalam tesis itu,
diuraikan bahwa para pelaku PKL adalah sepenuhnya digerakkan oleh rasionalitas
ekonomi. Fenomena PKL bukan fenomena keindahan semata, tetapi PKL adalah
fenomena sosial ekonomi. Artinya, PKL adalah akibat dari ketimpangan struktur
sosial ekonomi, sehingga masyarakat yang tidak bisa mengakses sektor-sektor
formal. Sementara untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup harus memiliki
pendapatan, mereka memilih sektor informal yang relatif mudah untuk memulainya.
Selama masih ada keterbatasan lapangan kerja sektor formal, maka sektor informal
adalah pilihan gampang dan PKL adalah salah satunya. Artinya pilihan menggeluti
sektor informal ini adalah sebuah pilihan yang logis dari warga kota untuk bisa
betahan hidup (survival).
Bahkan secara
dramatis, disebutkan dalam hasil penelitian dari Urban and Regional Development
Institute (URDI), sektor informal adalah katup pengaman perekonomian, menjadi
cagar alam bagi mereka yang gagal bersaing di pasar kerja formal yang “kejam”.
Data menunjukan bahwa sejak krisis ekonomi 1998, 40 juta unit usaha ekonomi,
98% adalah sektor usaha kecil dan menengah serta mampu menyerap tenaga kerja
70% dari 80 juta tenaga kerja di Indonesia. Dan ternyata, 70% itu sebagaian
besar adalah PKL dan pengrajin kecil. Jadi dari kacamata ‘uang’ (baca:
ekonomi), PKL adalah salah satu kekuatan ekonomi yang tidak boleh dianggap
remeh.
Lalu kenapa PKL
dianggap dan selalu dipandang dari sudut pandang sebagai “isu atau masalah
perkotaan”? Iya, PKL masih dianggap “jerawat” bagi kota yang beranjak “maju”.
Warga kota mana yang tidak nyaman ketika keindahan pedestrian yang sudah ditata
sedemikian rupa terpaksa ternoda oleh lapak lapak dan gerobak PKL yang membuang
sampah dan limbah secara sembarangan. Dengan rombong dan fisik bangunan yang
kumuh sering dianggap “sampah” yang merusak wajah kota. Sangat dilematis. PKL
seperti terjepit antara Uang dan Ruang: antara potensi kekuatan ekonomi dengan
ketersediaan ruang dan lahan yang layak sehingga menjadi lebih tertata dan
manusiawi.
Sebagai contoh
kasus saja, Isu PKL yang sedang hangat adalah soal PKL di Tanah Abang Jakarta.
Ahok, sang gubernur pemberani: dengan segala nyali serta taruhannya, menggusur
dan menertibkan PKL di Pasar Tanah Abang yang menjadi biang kemacetan dan
kesemrawutan. Banyak warga DKI Jakarta yang salut dengan langkah berani tersebut
dan Tanah Abang pun relatif aman dan nyaman bagi para pejalan kaki dan pengguna
jalan.
Tak lama
berselang, Sang Pemberani, tumbang. Gubernur berganti. Kebijakan berubah. Anies
dengan keramahan dan kesantunannya, dengan dalih mencoba membangkitkan ekonomi
kecil, pasang badan dan siap dikritik, kembali memberikan izin bahkan memberi
bantuan kepada PKL Tanah Abang untuk berjualan kembali. Akibatnya jalan
menyempit dan hiruk pikuk Pasar Tanah Abang pun kembali terdengar.
Lalu,
pertanyaannya, siapa benar dan siapa benar? Ahok dan Anies merasa dalam
kacamatanya masing masing adalah benar. Kembali ke kesimpulan PKL seperti
terjepit antara Ahok dan Anies. Antara kebutuhan uang dan ruang.
PKL di Kota Mataram
Lalu bagaimana PKL di Kota Mataram? Salah satu isu strategis
yang mengemuka dalam pembahasan perubahan RTRW Kota Mataram adalah alokasi
ruang bagi sektor Informal. Kalau dari aspek uang, dari kaca mata ekonomi
seperti tidak terbantahkan bahwa PKL adalah kenyataan yang harus diterima di
tengah keterbatasan lapangan kerja sektor formal. Menariknya, para penggiat PKL
Kota Mataram adalah para pendatang, kaum urban, yang datang dari berbagai
penjuru kota, baik daerah daerah di sekitar Kota Mataram maupun dari
kota/daerah dari pulau seberang terutama pendatang dari Jawa dan sekitarnya.
Meskipun penulis
belum memiliki data terkini, namun dari data tesis tahun 2003 silam, untuk di
kawasan perdagangan Cakranegara terdata: Penduduk Asli Mataram (29,9%),
Penduduk sekitar Mataram/ Pulau Lombok (45,4%) serta Luar Pulau Lombok (Jawa,
Bali, Sumatra) 24,7%. Artinya, total yang bukan warga Kota Mataram adalah 70,1
%. Meskipun ini tidak menggambarkan secara keseluruhan profil PKL di Kota
Mataram, namun sepertinya secara acak bisa di survei secara sederhana
sepertinya angka ini tidak jauh bergeser bahkan mungkin makin besar untuk
pendatang. Kebijakan Kota Mataram yang “welcome” kepada siapa saja yang
berkunjung ke kota ini, disambut baik pula oleh para pendatang.
Ibarat semut
selalu mengerumuni gula. Salah satu karakteristik PKL adalah mendatangi
keramaian. Karena ketika ada keramaian berarti ada uang yang beredar. PKL
mencoba menguntit uang-uang receh yang kalau diakumulasi besar juga akhirnya.
Maka strategi penanganan PKL selalu terkonsentrasi pada pusat pusat keramaian
kota, baik yang sudah diciptakan oleh sejarah yang panjang, maupun keramaian
yang di rekayasa sesaat. Tentu karakteristiknya sedikit berbeda dari 2 tipe
keramaian ini, sehingga pola penanganannya pun berbeda.
Untuk Kota
Mataram, tipe keramaian yang memiliki sejarah panjang biasanya terletak
di spot-spot strategis kota, contohnya: kawasan perdagangan
Cakranegara, kawasan eks pelabuhan Ampenan dan yang terbaru adalah Kawasan RTH
Udayana. Sementara untuk tipe keramaian yang sesaat (insidentil) adalah PKL
yang muncul bersama digelarnya event keramaian, seperti PKL di
Lapangan Umum, PKL di Lapangan Malomba, dan PKL di Asrama Haji. PKL yang tipe
pertama inilah yang sangat kompleks permasalahannya dan urgen untuk ditangani.
Menurut penulis,
ujung dari penanganan PKL adalah mencari titik temu antara aspek akses terhadap
ruang (lokasi) dan aspek akses terhadap sosial ekonomi (akses modal). Aspek
ruang terdiri dari regulasi tata ruang yang ada di Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang dan selanjutnya yang tidak bisa diabaikan adalah kepastian dan
penegakan hukum, yang dipelopori oleh Satpol PP.
Sementara aspek
sosial ekonomi adalah membangun akses permodalan serta akses ke sektor formal,
sehingga ada simbiosis antara sektor informal dan formal. Bukan justru “saling
membunuh” dan meniadakan. Pola Pasar Sore Malam di Kawasan Cakranegara adalah
salah satu “best practice” yang berjalan hingga saat ini.
Keberadaan “PKL Modern” seperti Indomaret serta Alfamart harus dioptimalkan
untuk memberi ruang kepada PKL untuk bersinergi. Ruang kosong yang dimiliki
oleh Alfamart dan Indomaret bisa dioptimalkan dengan mewajibkan untuk memberi
akses maksimal 3-4 gerobak PKL di depannya tentu dengan gerobak yang didesain
sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu estetika kota dan gerai pasar modern.
Cara Aman Menuntaskan “Jerawat”
Kota Mataram
adalah kota yang tengah bergerak maju dan berkembang. PKL adalah realisme yang
menjadi konsekuesi kota yang maju dan berkembang. Ibarat jerawat gadis yang
beranjak dewasa, PKL tidak bisa disembuhkan dengan cara cara “main cabut” dan
digusur secara tidak manusiawi. Selama masalah dasarnya tidak disentuh:
penyediaan lapangan kerja belum dipenuhi, PKL adalah pilihan.